Selasa, 14 Januari 2020

Gunung Budheg (Wisata Alam)

Gunung Budheg
Tulungagung

Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Hallo semuanya..

Kali ini aku akan menceritakan perjalananku menuju puncak gunung Budheg. Gunung Budheg merupakan tempat wisata ke 6 yang berhasil aku sambangi selama aku berkunjung ke Tulungagung. Gunung Budheg ini berlokasi di Desa Tanggung, Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Tingginya hanya 585 mdpl. Meskipun tidak terlalu tinggi, medan untuk mencapai puncaknya sangatlah terjal dan menantang adrenalin. Pada saat itu aku naik ke Gunung Budheg sekitar pukul 17.00 WIB. 

Saat aku mulai naik menelesuri jalur pendakian, aku sudah pesimis untuk dapat mencapai ke puncak. Jalanya yang dipenuhi dengan batu-batu besar sehingga membuat tenaga terkuras lebih banyak dari biasanya. Menurut beberapa orang yang sudah mendaki gunung ini, mereka butuh waktu 30 menit sampai 1 jam untuk mencapai puncak gunung ini. Namun saat aku mendaki gunung tersebut, aku hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mencapai puncaknya. Mungkin jam yang aku gunain berhenti beberapa menit sehingga aku terlihat sangat cepat untuk mencapai puncak Gunung Budheg hehe.. 

Konon menurut cerita legenda rakyat disana, Gunung Budheg merupakan tempat pertapaan seorang jejaka yang bernama Joko Budeg. Cerita ini bermula dari Joko Budeg yang jatuh cinta kepada putri keturunan keluarga Ningrat yang bernama Roro Kembangsore. Perbedaan status sosial menjadikan Joko Budeg mengalami kesulitan untuk mendapatkan Roro Kembangsore. Tetapi dengan kegigihan Joko Budeg lambat laun Roro Kembangsore pun menerima lamaran dari Joko Budeg. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan apabila Joko Budeg bersedia bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. 

Singkat cerita setelah sudah 40 hari 40 malam Roro Kembangsore menemui Joko Budeg ditempat pertapaannya. Merasa iba ketika melihatnya, Roro Kembangsore membangunkan Joko Budeg dari pertapaanya tetapi tidak bergerak sama sekali. Saat itu Roro Kembangsore merasa jengkel dan keluarlah kata-kata yang cukup keras “ditangikke kok mung jegideg wae, koyo watu” jika dibahasa indonesiakan “dibangunkan kok diam saja seperti batu” seketika muncullah fenomena alam dan mengubah Joko Budeg menjadi batu. Dengan peristiwa tersebut maka bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg dinamakan “Gunung Budheg”. 

Mendengar cerita tersebut logikaku tidak bisa menerima. Bagaimana bisa manusia menjadi batu dalam wakti segejap? Akal nalarku tidak bisa menangkap dan menerima kisah tersebut. Sehingga aku hanya bisa percaya meskipun tidak dapat meyakini kebenaran kisah tersebut. Tetapi cerita hanyalah cerita. Kisah hanyalah kisah yang didalamnya pasti mempunyai makna bahwa ketika kita mencintai seseorang ataupun menginginkan sesuatu kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. 

Beralih ke kata Budheg, menurut penuturan Bapak Agus yang merupakan pengelola dan pendiri wisata Gunung Budheg ini menuturkan bahwa kata Budheg mempunyai filosofi tersendiri. Budheg dapat diartikan sebagai “Budi kang Ajeg” atau jika dibahasa Indonesiakan berarti “Kebaikan yang Berdiri Tegak”. Pa Agus juga menuturkan bahwa seseorang dikatakan berbudi ketika sesorang tersebut berbudaya dan berilmu. Seseorang tersebut akan teguh dengan pendiriannya tanpa mendengarkan celaan atau hujatan dari orang-orang sekitarnya.

Pemandangan ketika dilihat dari atas (3/4 dari puncak Gunung Budheg) Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Tidak dapat dipungkiri pemandangan yang sajikan oleh Gunung Budheg sagatlah indah. Ketika diatas puncak Gunung Budheg kita bisa melihat panorama 360 derajat Kota Tulungaggung. Saat aku mendaki gunung ini, cuaca sedang tidak mendukung sehingga aku tidak dapat menikmati ndahnya sunset. Minimnya logistic yang aku bawa membuat aku harus sesegera mungkin turun ke bawah sebelum gelap menyapa. Aku turun pukul 17.50 tepat sekali adzan maghrib. Entah kenapa perjalanan yang dilalui olehku terlihat lebih cepat dari pendakian pada umumnya. Tetapi itu tidak ku permasalahkan, bahkan aku bersyukur karena perjalanan ini sungguh menyenangkan dan tanpa membuat kakiku pegal sedikitpun. Setelah sampai dibawah, aku sesegera membersihkan sepatuku yang berlumur lumpur dan sesegera wudhu dan mencari surau atau langgar. Namun, karena minimnya penerangan ditempat wisata Gunung Budheg, akupun menunaikan sholat maghrib di gazebo tempat yang biasa digunakan untuk anak-anak muda Pokdarwis mengadakan perkumpulan.

Tak bosan-bosan aku menawarkan kepada kalian untuk segera merasakan dan menikmati sendiri indahnya dan sensasi ketika mendaki di Gunung Budheg. Selamat berwisata gaess..

Ditulis Oleh : Vika Rachmania Hidayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Indonesia dalam Penguatan Nilai-Nilai Pancasila

Pendidikan telah menjadi bagian hidup dari setiap orang yang memiliki kedudukan penting. Dalam hal ini mengacu pada kepentingan bagaimana m...