Senin, 27 Januari 2020

Menjadi Guru, Sahabat dan Orangtua

Guru adalah sosok yang mengajarkan banyak hal kepada kita. Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan guru sangatlah mempengaruhi diri kita selama bersekolah. Guru yang menyenangkan sangatlah didambakan oleh semua siswa. Sehingga dalam pembelajaran, siswa dapat menerima materi yang diajarkan dengan baik dan dengan kondisi psikologi yang baik pula. Guru harus dapat memposisikan diri menjadi tiga posisi penting dalam kegiatan belajar anak diantaranya adalah sebagai guru, sebagai sahabat dan sebagai orangtua.

Berdasarkan psikososial menurut Heru Kurniwan (2017) ketiga hal tersebut menjadi syarat utama untuk menjadi guru. Syarat tersebut antara lain sebagai berikut:

(1) Dalam proses tumbuh kembangnya, secara psikososial, anak membutuhkan tiga sosok penting yang membantu proses tumbuh kembangnya, yaitu orangtua dalam kehidupan keluarga, sahabat atau teman dalam kehidupan pertemanan dan guru dalam kehidupan di sekolahnya.

(2) Dalam kehidupan sehari-harinya, anak-anak juga akan belajar pada tiga ruang sosial utama, yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan teman. Di ketiga ruang sosial ini, anak-anak sangat membutuhkan dampingan orangtua, guru dan teman-temannya.

(3) Dalam kehidupan budayanya, anak-anak akan selal belajar pola kehidupan budaya dari ketiga ruang sosial itu, yaitu keluarga, sekolah dan lingkungan pertemanan sebagai ruang budaya untuk proses internalisasi nilai, budaya, dan pola-pola perilaku anak.

Dokumentasi Pribadi

Ketika guru memposisikan diri sebagai guru, maka guru harus mampu melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan pembelajaran di sekolah dengan kreatif. Guru bisa membuat perencanaan-perencanaan dan persiapan pembelajaran yang kreatif. Guru yang dapat melaksanakan kegiatan penilaian pembelajaran dan dapat berhasil serta sukses dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. 

Pembelajaran idealnya adalah pembelajran menyampaikan materi ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan kehidupan anak yang disampaikan secara komunikatif dan menyenangkan sehingga mampu diperankan oleh anak secara partisipatif dan aktif untuk mencapai ketuntasan belajar yang diinginkan. Dengan dasar ini, maka pembelajaran terkait dengan komunikasi yang intesif antara guru dengan anak yang melibatkan berbagai lingkungan.

Kemudian posisi guru selanjutnya adalah ketika sebagai orangtua. Terdapat istilah yang mengatakan bahwa sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak. Artinya adalah, selain di rumah, di sekolah juga anak-anak harus mendapatkan perlakuan yang baik dari gurunya layaknya orangtua terhadap anaknya. Guru harus memberikan kasih sayang dalam mendidik dan membimbing anak-anak dengan baik.

Guru harus bisa dekat dengan anak-anak sehingga anak-anak sangat menyayangi gurunya, layaknya anak-anak menyayangi oragtuanya. Implikasinya, sosok guru sebagai orangtua akan membawa tugas agar dapat mengembangkan pembelajaran berbasis keluarga. Guru harus mampu menciptakan suasana kekeluargaan dalam pembelajaran. Anak-anak diajar dengan suasana penuh kasih sayang dan bimbingan.  Suasana belajar dikelas harus menyenangkan dan penuh dengan keakraban dan kekeluargaan sehingga anak tidak tertekan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru dalam posisi sebagai orangtua akan mendasari pembelajarannya dengan kesadaran kasih sayang layaknya orangtua pada anak-anaknya, sehinggadalam proses pembelajaran akan menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.

Dokumentasi Pribadi

Posisi yang terakhir dalam pembahasan kali ini adalah sosok guru yang memposisikan diri sebagai sahabat.  Selain dapat berperan menjadi guru dan orangtua, guru juga harus dapat berperan menjadi sahabat bagi anak-anak. Sebab, konteks pertemanan dan persahabatan inilah anak-anak akan terbuka dalam mengekspresikan keinginan, hobi, kesenangan, bakat, sampai pada persoalan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, guru harusmengetahuinya sehingga guru bisa berperan aktif dalam mengatasi persoalan yang dihadapi anak atau guru mampu mengembangkan bakat dan minat yang menjadi hobi anak-anak. 

Pendekatan persahabatan, dapat menjalin komunikasi yang baik dan interaksi yang nyaman dalam belajar. Anak-anak nantinya akan lebih antusias jika guru tersebut mempunyai hubungan yang baik dan dekat dengan mereka. Sehingga meraka akan bersungguh-sungguh dalam belajar untuk membuktikan bahwa dirinya adalah sahabat yang baik dan pintar untuk gurunya.

Dengan penjabaran diatas maka dapat kita ketahui bahwa peran guru sangatlah penting untuk tumbuh kembang anak dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebaik-baiknya guru adalah guru yang dapat memposisikan dirinya dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, nyaman, komunikatif dan berkarakter.

Artikel ditulis oleh: Vika Rachmania Hidayah
Referensi: Kurniawan,Heru. 2017. Sekolah Kreatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Jumat, 24 Januari 2020

Perempuan Muslim Progresif?

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

“Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya” (Buya Hamka)

Berkaitan dengan perkembangan zaman, masyarakat sekarang membutuhkan peran  perempuan dalam segala aspek, pendidikan, sosial ekonomi, hukum, politik, dan lainlain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tuntutan bangsa-bangsa atas nama masyarakat global bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan bagaimana bangsa tersebut peduli dan memberi akses yang luas bagi perempuan untuk beraktifitas di ranah publik. Perempuan merupakan sosok istimewa dari pada laki-laki. 

Menurut Imam Khomaeni ra, menyatakan bahwa “Perempuan adalah eksistensi yang mampu menghaturkan pribadi-pribadi yang unggul kepada masyarakat, sehingga masyarakat tersebut menjadi sebuah masyarakat yang kokoh dan masyarakat yang menjunjung norma-norma agama…” Isu-isu mengenai kiprah perempuan di ranah publik nampaknya tidak pernah absen dalam perbincangan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat terhadap perempuan merupakan warga kelas dua atau pelengkap laki-laki sehingga kiprahnya di ranah publik masih kerap kali dipandang sebelah mata. Perempuan dalam panggung sejarah manusia, selalu diposisikan minor dan dipandang negatif oleh struktur budaya, praktek, dan peradaban. Hanya sedikit masyarakat di belahan dunia ini yang memberikan ruang yang baik bagi perempuan. Dominasi laki-laki terhadap perempuan adalah realitas yang hidup dalam hampir setiap elemen masyarakat.

Ide-ide normatif Islam membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan, tetapi pada realitasnya atau praktek dilapangan sering menunjukan hal yang sebaliknya. Agama sering kali tampil dalam pandangan dunia laki-laki dengan meletakkan perempuan sebagai objek. Pemaksaan syari’at Islam terhadap perempuan sering ditemukan pada masyarakat Islam yang ‘extrem kanan’. Kebanyakan dari mereka tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan hak-haknya, bahkan yang menyangkut persoalan mereka sendiri. Padahal dalam masa Nabi Muhammad SAW -yang merupakan masa ideal Islam- perempuan mempunyai ruang lebih dalam menunjukkan keterlibatan dalam dunia sosialnya. Mereka terlibat aktif dalam memformulasikan nilai-nilai agama. Tak ada kaidah-kaidah agama, terutama yang berhubungan dengan mereka yang ‘jadi’ tanpa dialog dengan mereka. Di masa tabi’in dan tabi-tabi’in, peneliti Islam kotemporer menemukan banyak fakta tercecer tentang beberapa ilmuwan perempuan yang menjadi guru bagi pendiri mazhab besar dalam Islam. Rumah mereka telah menjadi sumber bagi perkembangan tradisi keilmuan Islam saat itu. Sejarah juga tak bisa memungkiri kecemerlangan beberapa ratu dalam pemerintahan Islam abad pertengahan.

Bagaimana caranya mejadi perempuan muslim yang progresif? Apa saja ciri-ciri perempuan muslim progresif itu? Dalam jurnal eL-Tarbawi yang berjudul “Pemikiran dan Gerakan Muslim Progresif” Noor (2006: 150-151) menjelaskan beberapa karakteristik menonjol  yang dapat dimiliki oleh muslim progresif diantaranya: 1) Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang Islam tradisional membutuhkan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuai kan dengan kebutuhan masyarakat muslim saat ini. 2) Mereka cenderung mendukung akan perlunya fresh ijtihad (pemikiran yang segar) dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer. 3) Beberapa di antara mereka juga mengkombinasikan atau mengintegrasikan secara kreatif warisan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran Barat modern. 4) Mereka secara penuh optimis dan teguh berkeyakinan bahwa dinamika dan perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum, ekonomi atau teknologi, dapat direfleksikan dalam Islam. 5) Mereka tidak merasa terikat pada dogmatisme atau mazhab dan teologi tertentu dalam pendekatan kajiannya. 6) Mereka lebih meletakkan titik tekan pemikirannya pada berbagai isu keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.

Islam membutuhkan muslim yang berwawasan luas dan muslim yang mempunyai kedalaman pengetahuan. Bukan hanya sebatas muslim yang menonjolkan simbol-simbol namun tumpul kedalam. Islam membutuhkan muslim yang progresif adanya muslim yang progresif  bertujuan untuk merumuskan islam yang dapat menjadi referensi dasar bagi terciptanya masyarakat berkeadilan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Dengan kata lain kehadiran Islam Progresif merupakan suatu rumusan baru Islam yang sesuai dengan kehidupan demokrasi. Di dalam pemikiran Islam seperti ini semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dan memperoleh perlakuan yang adil, kaum minoritas dilindungi dan dijamin hak-haknya secara setara.

Oleh karena itu, transformasi Islam dalam pandangan Islam Progresif adalah identik dengan sosial kemanusiaan Islam dan Demokrasi, selain akan mengantarkan  Islam dapat diterima oleh semua kalangan, juga kompatibel dengan kehidupan demokrasi. Dengan demikian nalar  pembentukan Islam Progresif berperspektif demokrasi, pluralisme, dan HAM. Menurut Turabi (1956) dalam bukunya yang berjudul “Yusr al-Islam wa Usul at-Tasri’ al-Am” Islam sekarang ini harus mengakomodasi dan mencerminkan kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, dan menjamin kemaslahatan. Berpangkal tolak dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa prinsip-prinsip dasar Islam perlu mengapresiasi pluralisme (ta’addudiyah), nasionalitas (muwatanah), penegakan HAM ((iqamat al-huquq alinsaniyah), demokrasi (dimuqratiyah), kemaslahatan (maslahat), dan kesetaraan gender (al-musawah al-jinsiyah). Sedangkan alur penafsiran ajaran Islam seperti ini adalah Alquran & al-Hadis, kemaslahatan, maqasid al-syari’ah, dan akal publik. 

Perempuan adalah pilar sebuah bangsa, kata-kata tersebut selayaknya harus diperjuangkan untuk menjunjung eksistensi perempuan sebagai makhluk yang istimewa. Oleh karena itu, sudah sepatutnya menjadi perempuan muslim yang progresif dengan terjun ke masyarakat untuk ikut andil dalam masyarakat dengan menyuarakan kemanusiaan dan keadilan.

Referensi:
Yusdani. 2015. Pemikiran dan Gerakan Muslim Progresif. Jurnal eL-Tarbawi. Volume VIII 
No. 2. UII
Turabi, Hasan.1956. Yusr al-Islam wa Usul at-Tasri’ al-Am. Kairo: Mathba’ah Nahdah Mishr.

Selasa, 14 Januari 2020

Gunung Budheg (Wisata Alam)

Gunung Budheg
Tulungagung

Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Hallo semuanya..

Kali ini aku akan menceritakan perjalananku menuju puncak gunung Budheg. Gunung Budheg merupakan tempat wisata ke 6 yang berhasil aku sambangi selama aku berkunjung ke Tulungagung. Gunung Budheg ini berlokasi di Desa Tanggung, Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Tingginya hanya 585 mdpl. Meskipun tidak terlalu tinggi, medan untuk mencapai puncaknya sangatlah terjal dan menantang adrenalin. Pada saat itu aku naik ke Gunung Budheg sekitar pukul 17.00 WIB. 

Saat aku mulai naik menelesuri jalur pendakian, aku sudah pesimis untuk dapat mencapai ke puncak. Jalanya yang dipenuhi dengan batu-batu besar sehingga membuat tenaga terkuras lebih banyak dari biasanya. Menurut beberapa orang yang sudah mendaki gunung ini, mereka butuh waktu 30 menit sampai 1 jam untuk mencapai puncak gunung ini. Namun saat aku mendaki gunung tersebut, aku hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk mencapai puncaknya. Mungkin jam yang aku gunain berhenti beberapa menit sehingga aku terlihat sangat cepat untuk mencapai puncak Gunung Budheg hehe.. 

Konon menurut cerita legenda rakyat disana, Gunung Budheg merupakan tempat pertapaan seorang jejaka yang bernama Joko Budeg. Cerita ini bermula dari Joko Budeg yang jatuh cinta kepada putri keturunan keluarga Ningrat yang bernama Roro Kembangsore. Perbedaan status sosial menjadikan Joko Budeg mengalami kesulitan untuk mendapatkan Roro Kembangsore. Tetapi dengan kegigihan Joko Budeg lambat laun Roro Kembangsore pun menerima lamaran dari Joko Budeg. Roro Kembangsore mau menerima lamaran Joko Budeg dengan persyaratan apabila Joko Budeg bersedia bertapa 40 hari 40 malam di sebuah bukit, beralaskan batu dan memakai tutup kepala “cikrak” (alat untuk membuang sampah di Tulungagung) sambil menghadap ke Lautan Kidul. 

Singkat cerita setelah sudah 40 hari 40 malam Roro Kembangsore menemui Joko Budeg ditempat pertapaannya. Merasa iba ketika melihatnya, Roro Kembangsore membangunkan Joko Budeg dari pertapaanya tetapi tidak bergerak sama sekali. Saat itu Roro Kembangsore merasa jengkel dan keluarlah kata-kata yang cukup keras “ditangikke kok mung jegideg wae, koyo watu” jika dibahasa indonesiakan “dibangunkan kok diam saja seperti batu” seketika muncullah fenomena alam dan mengubah Joko Budeg menjadi batu. Dengan peristiwa tersebut maka bukit yang digunakan untuk bertapa Joko Budeg dinamakan “Gunung Budheg”. 

Mendengar cerita tersebut logikaku tidak bisa menerima. Bagaimana bisa manusia menjadi batu dalam wakti segejap? Akal nalarku tidak bisa menangkap dan menerima kisah tersebut. Sehingga aku hanya bisa percaya meskipun tidak dapat meyakini kebenaran kisah tersebut. Tetapi cerita hanyalah cerita. Kisah hanyalah kisah yang didalamnya pasti mempunyai makna bahwa ketika kita mencintai seseorang ataupun menginginkan sesuatu kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. 

Beralih ke kata Budheg, menurut penuturan Bapak Agus yang merupakan pengelola dan pendiri wisata Gunung Budheg ini menuturkan bahwa kata Budheg mempunyai filosofi tersendiri. Budheg dapat diartikan sebagai “Budi kang Ajeg” atau jika dibahasa Indonesiakan berarti “Kebaikan yang Berdiri Tegak”. Pa Agus juga menuturkan bahwa seseorang dikatakan berbudi ketika sesorang tersebut berbudaya dan berilmu. Seseorang tersebut akan teguh dengan pendiriannya tanpa mendengarkan celaan atau hujatan dari orang-orang sekitarnya.

Pemandangan ketika dilihat dari atas (3/4 dari puncak Gunung Budheg) Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Tidak dapat dipungkiri pemandangan yang sajikan oleh Gunung Budheg sagatlah indah. Ketika diatas puncak Gunung Budheg kita bisa melihat panorama 360 derajat Kota Tulungaggung. Saat aku mendaki gunung ini, cuaca sedang tidak mendukung sehingga aku tidak dapat menikmati ndahnya sunset. Minimnya logistic yang aku bawa membuat aku harus sesegera mungkin turun ke bawah sebelum gelap menyapa. Aku turun pukul 17.50 tepat sekali adzan maghrib. Entah kenapa perjalanan yang dilalui olehku terlihat lebih cepat dari pendakian pada umumnya. Tetapi itu tidak ku permasalahkan, bahkan aku bersyukur karena perjalanan ini sungguh menyenangkan dan tanpa membuat kakiku pegal sedikitpun. Setelah sampai dibawah, aku sesegera membersihkan sepatuku yang berlumur lumpur dan sesegera wudhu dan mencari surau atau langgar. Namun, karena minimnya penerangan ditempat wisata Gunung Budheg, akupun menunaikan sholat maghrib di gazebo tempat yang biasa digunakan untuk anak-anak muda Pokdarwis mengadakan perkumpulan.

Tak bosan-bosan aku menawarkan kepada kalian untuk segera merasakan dan menikmati sendiri indahnya dan sensasi ketika mendaki di Gunung Budheg. Selamat berwisata gaess..

Ditulis Oleh : Vika Rachmania Hidayah

Minggu, 12 Januari 2020

Peninggalan Candi Boyolangu

Pandarmaan Gayatri
Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Hallo semuanya….

Terimakasih untuk kamu yang masih setia membaca tulisanku ini hehehe….

Kali ini aku akan membahas tentang Candi Boyolangu. Tempat ini adalah tempat ke 5 yang sempat disambangi saat aku menjelajahi Tulungaggung.

Kesan awal menginjakan kaki ditempat ini adalah suasanya yang sepi dan senyap karena mungkin saat aku berkunjung adalah jam-jam istirahat sehingga suasananya begitu tentrem. Namun didepan candi terdapat rumah besar yang ternyata digunakan untuk tempat konveksi sehingga membuat suasana senyap itu pecah seketika diganti suara mesin konveksi yang sedang bekerja. Ketika ingin memasuki kawasan candi ini, ternyata pagar terkunci menandakan bahwa aku sedang tidak beruntung saat itu. Tapi tak masalah bagiku, karena dari luar sudah dapat diamati situs Candi Boyolangu yang katanya sebagai pendarmaan Gayatri.

Candi Boyolangu ini berada di Dusun Dadapan, Desa Boyolangu, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Menurut beberapa sumber, candi ini ditemukan oleh masyarakat pada tahun 1914 dalam timbunan tanah. Candi Boyolangu ini merupakan kompleks percandian yang terdiri dari tiga bangunan perwara. Masing-masing bangunannya menghadap ke barat. Candi Boyolangu ini saat ditemukan, kondisi arca sudah rusak meskipun masih terlihat baik tetapi bagian kepala dari arca ini sudah hilang. Para ahli mengemukakan bahwa arca ini adalah wanita Budha yang biasa dikenal dengan nama Gayatri. Gayatri merupakan satu dari keempat anak raja kertanegara (Singosari) yang kemudian diwakili Raden Wijaya (Majapahit). Pada masa hidupnya, Gayatri dikenal sebagai pendeta wanita Budha (Bhiksumi) kerajaan Majapahit dengan gelar Rajapadmi.

Ketika diamati dari pintu masuk yang terkunci
(Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020)

Candi Boyolangu ini dibangun pada Zaman Majapahit masa pemerintaha Raja Hayam Wuruk (1358 M s.d 1389 M). Bentuk arca ini menggambarkan perwujudan Dhyani Budha Wairocana dengan duduk diatas padmasanan (singgasana) berhias daun teratai. Sikap tangan arca adalah Dharmacakramudra (mengajar). Badan arca dan singgasananya tertata halus dengan gaya Majapahit. Dalam kitab Kesustraan Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (masa Majapahit pemerintahan Raja Hayam Wuruk) sudah dijelaskan  bahwa di Boyolangu terdapat bangunan suci (candi) beragama Budha dengan nama Prajnaparamitapuri.

Kemudian apa yang melatar belakangi candi ini dibangun? Anganku mulai liar dan ingin mencari informasi lebih dalam tentang Candi Boyolangu ini. Jadi pada masa Indonesia kuno, candi dikenal sebagai tempat pemujaan, tempat raja/penguasa yang telah meninggal dimanifestasikan sebagai arca perwujudan yang sekaligus dijadikan sarana pemujaan masyarakat pendukungnya. Sehingga dapat diartikan bahwa tempat tersebut selain berfungsi sebagai tempat pemujaan juga sebagai tempat penyimpanan abu jenazah raja/penguasa. Konon katanya Candi Boyolangu merupakan tempat keramat yang di sekar para pembesar Majapahit setiap bulan Badrapada. Nah, dengan demikian sudah digambarkan jelas bahwa Gayatri merupakan sosok yang berpengaruh sehingga sampai akhir hayatnya selalu dikenang dan dihormati oleh para pembesar Majapahit dan pengikut-pengikutnya.

Aku pun mulai berfikir jika demikian benar adanya, berarti Gayatri merupakan sosok peempuan luar biasa kan? Sebelum adanya gerakan kesetaraan gender bahkan gerakan feminism adanya sosok gayatri sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang dapat diagungkan jika memang perempuan tersebut mumpuni. Buat apa kita menuntut kesetaraan gender jika kita saja sebagai perempuan tidak mempunyai tekad untuk meningkatkan kualitas diri? Dari sini akupun dapat mengerti bahwa seseorang dapat di “orang” kan ketika dia memang mempunyai peran yang besar dalam masyarakatnya tidak memperdulikan apakah dia laki-laki ataupun perempuan. Kemudian untuk dapat berperan kita harus seperti apa? pastinya selalu mengasah keterampilan, memperbanyak wawasan pengetahuan dan pastinya dari Gayatri akupun belajar bahwa kita harus selalu taat dan bakti pada yang menciptakan kita. Gayatri merupakan pendeta Budha yang sangat religius. Semuanya terlihat berjalan selaras antara jiwa dan ruhanninya. Sehingga pantas saja jika Gayatri merupakan sosok perempuan yang sangat agung dan dihormati.

Meskipun aku kecewa tidak dapat melihat arca Gayatri secara dekat dan detail, setidaknya aku dapat melihat sosoknya yang luar biasa pada kehidupan masa kerajaan Majapahit. Aura Gayatri begitu kental dan kentara menggambarkan bahwa sosok Gayatri sangatlah cantik dan cerdas. Untuk kamu yang penasaran sangat aku sarankan untuk mengunjungi Candi Boyolangu ini. Hehehe

Terimakasih sudah membaca.
Nantikan perjalananku selanjutnya yahhh

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

Untuk Informasi lebih lengkapnya bisa dibaca di https://tulungagung.go.id 

Peninggalan Candi Sanggrahan

Candi Sanggrahan
Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020 
Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020

Candi Sanggrahan merupakan tempat ke 4 pengembaraanku di Tulungagung. Nah jadituh, Candi Sanggarahan berada di dusun Sanggrahan, Desa Sanggrahan, Kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungaggung. Candi ini berbahan batu andesit dan biasa dikenal juga dengan nama candi Cungkup. Candi ini menghadap kearah barat. Candi ini sangat apik dan menarik mataku untuk mengelilinginya. Bagian bawah candi terdapat relief aneka hewan seperti singa dan serigala. Namun pada bagaian atas candi tidak terdapat relief sama sekali. 

Dalam papan keterangan Candi Sanggrahan dipaparkan bahwa secara umum kompleks Candi Sanggrahan berdiri atas sebuah bangunan induk dan dua buah sisi bangunan perwara. Bangunan induk menggunakan batuan andesit dengan isian bata. Bangunan candi ini terdiri atas empat tingkat yang masing-masing berdenah bujursangkar. Bangunan Candi Sanggrahan berada pada teras/undakan setinggi kurang lebih 2 meter. Menurut beberapa sumber, dahulu terdapat lima buah arca Budha yang masing-masing memiliki posisi mudra yang berbeda. Letak arca tersebut di timur bangunan induk. Namun, demi keamanan arca tersebut maka dipindahlah arca itu ke museum Wajakensis Tulungaggung.

Berdasarkan temuan arcanya yang bersifat Budha dan relief yang bersifat Hindu, diduga Candi Sanggrahan merupakan candi yang bernafaskan Siwa-Budha loh... Sinkretisme Siwa-Budha di Jawa mulai berkembang pada masa Singhasari hingga masa Majapahit. Menurut N.J. Krom (1923) dalam tulisannya, disebutkan bahwa Candi Sanggrahan untuk pertama kali dilaporkan oleh J. Knebel (1908) terutama mengenai penemuan arca Dyani Budha. Candi Sanggrahan kini tampak rapi dan tertata karena telah selesai dipugar sejak 2015 hingga 2016. Selain itu juga ditambahi beberapa batu untuk melengkapi struktur candi agar dapat terlihat apik. Wah, pantas saja saat aku berkunjung bangunannya sudah apik dan halaman sekitar candi sudah terawat dengan baik. Meskipun saat memaski wilayah candinya, terlihat gapura yang berbahan batu merah dengan kondisi buruk tetapi tidak mempengaruhi keelokan bentuk Candi Sanggrahan ini.

Lantas yang menjadi pertanyaannya adalah dulu tuh Candi Sanggrahan ini dibangun untuk apasih? Pasti kan segala sesuatu ada terdapat alasan yang kuat kan? Jadi menurut para ahli sejarah, Candi sanggrahan dibangun sebagai tempat peristirahatan rombongan pembawa abu pendeta wanita Budha Kerajaan Majapahit bernama Gayatri yang bergelar Rajapadni. Abu itu nantinya akan dibawa dari kraton Majapahit untuk menjalani upacara pendarmaan di Candi Boyolangun. Candi Sanggrahan dibangun pada jaman Majapahit masa Raja Hayam Wuruk (1359 – 1389 M).

Bagi kalian yang gemar travelling sambil belajar, tempat ini cocok sekali untuk disambangi. Lokasinya sangat strategis karena terletak di samping jalan utama Desa. Tempat ini juga sangat apik sebagai background fotomu hehe..

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

Referensi
Sendyawati E., dkk. 2013. Candi Indonesia: Seri Jawa. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Direktorat Jendral Kebudayaan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Tangga Seribu (Wisata Religi)

Padepokan Hyang Agung Gusti Wisnu Petir

Dokumentasi Pribadi Pada 7 Januari 2020

Gapura yang bertuliskan “Padepokan Hyang Agung Gusti Wisnu Petir” menarik mataku dan hasratku ingin melihat dan berkunjung kesana. Tempat ini terletak di Dusun Mojo, Desa Wajak Kidul, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Gapura ini merupakan pintu masuk menuju tangga seribu. Tangga seribu ini awalnya merupakan jalan masuk menuju makam Eyang Tjokro. Tetapi keberadaan makam tersebut sangat jarang diketahui oleh khalayak. Meskipun banyak yang tidak mengetahui keberadaan makan dari Eyang Tjokro atau Eyang Agung Cokrokusumo (Eyang Wisnu Petir), tempat ini merupakan tempat wisata religi yang sering dikunjungi peziarah. Eyang Wisnu Petir merupakan Mbah Guru Wali Pangeran Benowo, buyut dari Mudndzir + KH. Dimyathi Khaossun, R.M Garendi atau Syekh Zainal Abidin (Sunan Kuning) dan Syaikh Basyaruddin bin Syaikh Abdurrahman. Menurut beberapa sumber, makam ini ditemukan sekitar tahun 1501 M. Berdasarkan hasil penelitian peneliti dari Yogyakarta, menerangkan bahwa Eyang Cokrokusumo adalah salah satu pandherek Pangeran Diponegoro yang diutus untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah tersebut. Hal ini di dalasari dengan adanya batu nisan yang dipakai di makam.

Selain digunakan untuk menuju ke makam, pemuda desa wajak yang tergabung di Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) tempat ini diubah menjadi sangat apik dan dapat digunakan sebagai tempat wisata untuk masyarakat khususnya pemuda dan anak-anak. Tempat ini sering digunakan untuk jogging atau hanya sebatas jalan-jalan menikmati alam yang masih asri.  Disamping itu, tangga ini juga dapat digunakan sebagai akses menuju Candi Dadi. Sangat disayangkan, saat aku berkunjung kesana cuaca sedang tidak bersahabat. Sehingga, belum diberi kesempatan untuk berziarah ke Makam Eyang Wisnu Petir ataupun mengunjungi Candi Dadi.

Untuk dapat berkunjung ke tempat ini, cukuplah mudah. Karena tempatnya yang strategis berada di pinggir jalan raya. Gapuranya sangat mencolok dengan bertuliskan aksara jawa dengan arti “Padepokan Hyang Agung Gusti Wisnu Petir” serta dilengkapi dengan ornamen baru batu yang menyerupai bentuk naga. Bentuknya yang unik dan apik sangat menarik untuk digunakan bersua foto bersama teman dan kerabat.

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

Referensi
Suhananto, Anto, dkk. 1995. Wajak dan Perubahan Serta dan Kebudayaan. Karya Tulis Tidak Diterbitkan. Tulungaggung-jawaTimur

Cagar Budaya (Goa Pasir)

Goa Pasir
Halo semuanya…
Kali ini aku akan membahas tentang tempat yang aku kunjungi saat berada di Kabupaten Tulugagung setelah Candi Mirigambar. 

Apa yang terlintas dipikiran teman-teman tentang Goa? Kemudian apa yang terlintas dipikiran teman-teman tentang Pasir? Nah selanjutnya adalah apa yang terlintas dipiran teman-teman tentang Goa Pasir? Mungkin ada yang berfikiran Goa yang berada di dekat lautan sehingga berpasir. Atau mungkin Goa yang beralaskan pasir atau juga Goa yang dipenuhi dengan pasir.

Tidak masalah jika kalian semua menebaknya begitu hehe… Sebelum mengenal lebih jauh tentang apa itu Goa Pasir? Aku akan memberikan informasi bahwa Goa Pasir ini terletak di Dusun pasir. Nah lebih tepatnya adalah Dusun Pasir, Desa Junjung Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Goa Pasir ini adalah goa buatan yang dibuat dengan melubangi lereng bukit. Tempat goa Pasir di lereng yang cukup terjal sehingga untuk dapat melihatnya kita harus naik keatas melewati batu-batu yang besar. Saat aku berkunjung kesana, terlihat sekali banyak pohon besar dengan suasana yang singit dan magis. Tempatnya sangat tenang dan tentrem, sehingga ketika sudah berada diatas fikiran serasa lebih segar karena kita dapat melihat pemandangan yang sangat indah.

Lokasi Goa Pasir 
(Gambar diambil di jejakpiknik.com)

Bertempat di lereng yang terjal
(Dokumentasi Pribadi pada 7 Januari 2020)

Menurut papan informasi yang terpampang sebelum masuk ke kawasan Goa Pasir, Goa Pasir ini merupakan kompleks cagar budaya yang berada di lereng gunung Padha. Goa ini dipahatkan pada lereng terjal bukit. Bagian dalam goa tersebut terdapat relief dengan Arjunawiwaha (Adegan penggodaan terhadap Arjuna dan pengikutnya oleh Bidadari). Beberapa ahli berpendapat bahwa Goa ini adalah pertapaan yang digunakan oleh Gayatri (Rajapadni), nenek dari Hayam Wuruk yang meninggal pada tahun 1350 M yang kemudian abu jenazahnya disemayamkan di Candi Boyolangu.

Menurut Drs. M Dwi Cahyono, M.Hum dalam bukunya yang berjudul Tabuta (tapak Budaya tulungagung) juga sudah dijelaskan bahwa Goa Pasir atau biasa dinamakan Situs Karsyan dengan bentuk bangun landam kuda serta tinggalan arkeologi yang berupa goa pertapaan. Dalam buku Tabuta juga dijelaskan bahwa sesuai dengan sebutannya yaitu “Situs Goa Pasir” dan fungsinya sebagai pertapaan yaitu dengan banyaknya temuan lain yang tersebar di area goa serta sebagian yang tertimbun tanah. Temuan ini sangat selaras  dengan esoteric dari Hindu sekte Siwa Shidanta.

Di area goa terdapat arca-arca batu andesit. Namun untuk saat ini hanya tersisa tinggal dua buah arca penjaga pintu (dwara pala) berbeda ukuran dan detail bentuknya, fragmen arca Ganesa (gajah) yang dapat diketahui bahwa ini merupakan peninggalan masa kerajaan Majapahit.  Hal ini juga diperkuat oleh catatan peneliti Belanda N. J. krom dan Verbeek bahwa di situs Goa Pasir pernah ditemukan arca bati yang dipahat penanda angka saka 1325 (1403 M) dan 1224 S (1302 M) tahun 1302-1403 M yang berarti dari masa Majapahit.

Di bawah kompleks Goa Pasir terdapat bongkahan batuan yang ditatah membentuk panil-panil gambar binatang dan tokoh wanita, yaitu binatang kera dalam posisi menari dan binatang Gajah. Bongkahan ini menggambarkan sebuah fabel, cerita dengan Jakon binatang dan dianggap sebagai media untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan sifat baik dan buruk. Selain itu terdapat pula bongkahan batu yang dipahat sehingga menghasilkan gambaran Dwarapala pada sebuah sisi, dan relief perahu pada sisi lainnya.

Relief-relief yang ada di cagar budaya Goa Pasir ini sudah banyak yang rusak karena ulah tangan-tangan pengunjung yang tidak bertangung jawab. Dan mirisnya, tempat ini sering dijadikan tempat pacaran untuk para pemuda dikarenakan tempatnya yang adem dan rindang serta sepi atau jauh dari keramaian. Jika kita menelaah lebih jauh sebelum jaman sekarang, tempat ini merupakan tempat yang suci, tempat keramat yang biasa digunakan untuk pertapaan. Pertapaan merupakan tempat bertapa atau tempat untuk mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, tidur, dan birahi) untuk mencari ketenangan batin.  Dengan demikian, Goa Pasir saat ini sangat kontradiktif penggunaanya antara zaman dahulu dan zaman sekarang. Sangat miris bukan?

Memang perlu adanya penanganan yang serius agar tempat ini dapat digunakan menjadi tempat edukasi yang interaktif untuk siswa dalam belajar tentang sejarah. Karena sejarah merupakan ilmu yang menarik dan tidak pernah habisnya ketika dipelajari. Dan akan terus berkembang jika ditemukanlah arca-arca atau artefak-artefak serta peninggalan-peninggalan yang lain.

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

Sabtu, 11 Januari 2020

Peninggalan Candi Mirigambar

Candi Mirigambar
(Dokumentasi pribadi pada 7 Januari 2020)

Oke Sahabatku…

Kali ini aku akan membahas tentang peninggalan-peninggalan candi yang ada di Jawa Timur khususnya di Kabupaten Tulungagung. Nah, sebenarnya candi itu apasih? Kenapa harus ada candi? Bagaimana sejarah dibuatkannya candi? 

Jadituh, Candi adalah bangunan yang memiliki bentuk arsitektur dan struktur sebuah bangunan yang berasal dari kerajaan hindu ataupun budha. Candi juga identik dengan suatu kisah dari sebuah kerajaan dan latar belakang dari pembangunan candi tersebut.  Jaman dahulu, candi berfungsi sebagai tempat pemujaan dan pendarmaan seorang raja.

Nah saat aku main ke Kabupaten Tulungagung, aku diberi kesempatan untuk berkunjung ke Candi Mirigambar. Candi Mirigambar ini terletak di Desa Mirigambar kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Berdasarkan arsip Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan, Sejarah candi ini dapat diketahui dari adanya angka tahun yang dipahat. Pahatan angka tahun ini adadua buah namun sayangnya pahatan ini sudah cacat dari sejak jaman Belanda. Namun masih bisa diketahui bahwa angka tahun yang pertama di pahatkan pada dinding kaki candi sisi timur memuat angka tahun 1321 saka (1399 M), sedangkan yang kedua terletak tidak berjauhan yaitu disebelah barat candi dengan angka tahun 1310 saka (1388 M). Konon, dulu juga pernah ditemukan prasasti tembaga yang isinya menceritakan tentang pergantian kekuasaan antara Wikramawardhana dengan Hayam Wuruk. Prasasti ini ditemukan tidak jauh dari candi Mirigambar. Dari data-data tersebut dapat diketahui bahwa candi Mirigambar merupakan peninggalan zaman Majapahit.

Pada saat saya mengunjungi candi ini, terlihat kondisi candi yang sudah tidak utuh dengan relief yang sudah banyak yang hilang. Candi ini berbahan bangunan batu bata merah dengan berbagai relief berbentuk hewan-hewan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tulungagung menyatakan bahwa keistimewaan dari candi ini adalah candinya tunggal dan dibangun dari bahan bata merah dan berpintu masuk disisi barat dengan tampak pada batu-batu yang berbentuk persegi berserta sebuah undakan pada sisinya dan dipenuhi dengan ornament. Pada sisi utara, timur dan selatan terdapat relief dan disudut tenggara yang kedua sisinya terdapat ornament dengan melukiskan seekor burung garuda. Panjang ukuran candi 8,50 meter lebar 7,70 meter dan tinggi 2,35 meter. 

Menurut literatur, candi ini merupakan awal era kerajaan majapahit samapai akhir kerjaan majapahit. Dan diperkirakan pada masa peralihan Raja Hayam Wuruk kepada Raja Wikramawardhana. Candi Mirigambar sendiri merupakan tempat pemujaan yang bercorak Hindu. Arsitektur candi Mirigambar mempunyai ciri khas dari Kerajaan Majapahit yang ditunjukan dari relief yang terpahat pada dinding candi. Terdapat relief yang menceritakan kisah Tantri atau Tantri Kamandaka (adegan burung bangau, ikan dan kepiting). Maria J. Klokke arkeolog Belanda (1990) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga panel relief dinding II yang menggambarkan adegan hewan; burung bangau, ikan dan kepiting. Menurutnya dalam The Tantri Relief on Ancient Javanese Candi, adegan itu merupakan adegan yang berasal dari cerita Tantri Kamandaka. (Tersedia di: http://historia.id/kuno/cerita-panji-di-candi-iri-gambar)

Namun terdapat juga beberapa versi cerita diantaranya adalah versi dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olahraga (DISPARPORA) menjelaskan bahwa ukiran relief pada dinding Candi Mirigambar merupakan kisah dari Angkling dharma. Sedangkan menurut Lidya Keaven dalam bukunya yang berjudul “Bertopi Pada Relief Candi Zaman Kuno Majapahit” menyebutkan bahwa relief pada candi Mirigambar adalah menceritakan tentang penyamaran “Panji Waseng Sari” yang berperang dengan Raja Magadha karena saat itu Raja Magadha menginginkan Putri Galuh Candra kirana untuk dinikahinya.

Namun, apapun cerita pada masa lalunya candi Mirigambar perlu mendapatkan penangan dan pemberdayaan yang serius oleh pemerintah. Karena candi Mirigambar merupakan peninggalan sejarah yang tidak bisa dihilangkan. Perlu adanya reklamasi kembali agar candi ini dapat digunakan sebagai wisata edukasi yang menarik untuk pelajar. 

Ditulis Oleh: Vika Rachmania Hidayah

Referensi;
Zuhry, Wildan. 2018. Studi tentang Candi Mirigambar di Tulungagung. Jurnal Simki-Pedagogia. Vol 02 No. 04. Universitas Nusantara PGRI Kediri 

Pendidikan Indonesia dalam Penguatan Nilai-Nilai Pancasila

Pendidikan telah menjadi bagian hidup dari setiap orang yang memiliki kedudukan penting. Dalam hal ini mengacu pada kepentingan bagaimana m...